Di sebuah desa, nun jauh di daerah pedalaman kalimantan matahari
belum lagi muncul sempurna, namun anak-anak berseragam putih merah
berceloteh ceria mengusik pagi. Kaki-kaki mereka yang sebagian besar
tidak mem`kai sepatu menapaki jalan setapak yang sedikit berlumpur.
Sedikit bergegas, maklum masih perlu waktu sekitar 60 menit untuk sampai
di sekolah yang ada di desa tetangga.
Sekolah Dasar yang terdekat dari tempat tinggal mereka memang hanya
dapat dicapai dengan berjalan kaki. Belum ada badan jalan yang bisa
dilewati kendaraan bermotor. Tak heran jika di desa ini tak satu pun
sepeda motor terlihat. Predikat desa terpencil sudah lama disandang.
Untuk sampai ke desa dari ibu kota kecamatan saja memerlukan waktu
hampir seharian penuh. Sebagian besar harus lewat angkutan air, yang
juga harus melewati beberapa jeram berarus deras. Pada musim kemarau,
perahu sampan bermotor angkutan andalan tak bisa beroperasi karena air
sungai menyusut. Tidak ada pilihan selain berjalan kaki jika hendak
sampai ke desa, yang berarti akan menambah waktu hingga 5 jam
perjalanan.
Kondisi di atas mungkin juga terjadi di tempat lain, bahkan dapat
lebih dari itu. Begitu sampai sekolah, belum lagi hilang lelah setelah
ber jam jalan kaki, murid langsung ‘dipaksa’ untuk belajar. Sungguh timing
yang tidak tepat untuk dapat menangkap pelajaran dengan sempurna.
Terkadang didapati murid-murid sudah harus pulang sekolah sebelum
waktunya karena guru tidak datang atau belum datang atau memang tidak
ada gurunya sama sekali.
Semangat belajar para masa depan
Indonesia
Apakah ini masalah yang serius? Bisa jadi data
yang disajikan oleh UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks
Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu
komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan,
dan penghasilan per kepala cukup menggambarkan hal
itu. Tercatat bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin
menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia masuk kelompok Medium
Human Development yang menempati urutan ke-102 (1996), ke-99
(1997), ke-105 (1998), ke-109 (1999) dan data tahun 2007 menempati
peringkat ke-111 ( HDI 2007).
Bandingkan dengan Malaysia yang masuk kategori High Human
Development dan menduduki peringkat 66 dari 182 negara.
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC),
kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12
negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang
dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki
daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57
negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga
yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai
pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Sedangkan kualitas pendidikan Indonesia ditunjukkan data Balitbang
(2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan
sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary
Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya
delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle
Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah
saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program
(DP).
Beberapa penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain
adalah masalah efektifitas, efisiensi dan
standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi
masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan
khusus dalam dunia pendidikan antara lain:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Tentunya permasalahan di atas sudah sejak lama diketahui
penyebabnya. Bukankah di Pembukaan UUD 1945 sudah tercantum tujuan
mulia terbentuknya negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa. Dan Pemerintah juga sudah menyiapkan APBN 2010 dana
untuk pendidikan sebesar 209,54 triliun rupiah atau setara 20% dari
total anggaran, naik dari 207,41 triliun rupiah pada tahun 2009. Lalu
apakah kenaikan alokasi dana tersebut berbanding lurus dengan kualitas
pendidikan sekarang?
Dan apa sulosi atas pemecahan masalah di atas guna mendongkrak
kualitas dan prestasi pendidikan kita?. Petuah terkenal Mulailah
dari diri sendiri, Mulailah dari hal-hal kecil, dan Mulailah dari
sekarang sepertinya tepat, termasuk mendorong bahkan mendesak
pihak-pihak terkait terutama para praktisi pendidikan dan pengambil
kebijakan untuk lebih konsen terhadap dunia pendidikan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar