Namun, akhir-akhir ini, saya
justru terkejut dengan beragam kabar yang dilangsir oleh media. Begitu
banyak sekolah melakukan pelanggaran. Banyak sekolah melakukan
tindakan-tindakan yang terkategori melanggar ketentuan. Namun,
Kemendikbud belum terlihat melakukan tindakan nyata sebagaimana ancaman
yang pernah dhlontarkannya. Saya kurang memahami alasannya. Mungkinkah
Kemendikbud belum memiliki indikator pelanggaran dan jenis sanksi
terhadap sekolah yang melanggar?
Sekolah adalah lembaga
pendidikan formal yang dikelola oleh negara dan masyarakat. Oleh karena
itu, Negara menyediakan sekolah negeri sejak jenjang TK/ PAUD, SD, SMP,
SMA/ SMK, hingga perguruan tinggi. Demikian halnya masyarakat, sebut
saja pihak swasta. Mereka mendirikan sekolah dari beragam jenjang.
Terjadinya sinergisitas untuk mencapai tujuan yang sama harus didukung
oleh semua pihak. Namun, sepertinya Kemendikbud berubah menjadi
macan ompong kala berhadapan dengan sekolah swasta. Apa pasal?
Kemarin, saya sempat
berkomunikasi dengan seorang rekan dari Surabaya. Kami berdiskusi
tentang banyak hal, khususnya tentang dunia pendidikan. Satu hal yang
menyebabkan saya terperangah adalah kabar tentang biaya pendidikan
sekolah swasta. Ternyata, sungguh sekolah swasta dimaksud melakukan
beragam pungutan yang jumlahnya mencapai puluhan juta rupiah. Wouw,
teramat fantastis!
Saya pun terpancing untuk
mengetahui lebih banyak tentang hal itu sehingga saya sempat bertanya
tentang mekanisme penarikan biaya dari orang tua murid. Dan saya
benar-benar dibuat kaget bukan alang kepalang. Menurut temanku tersebut,
sekolah mengadakan wawancara dengan calon murid. Pada
wawancara itu, pihak sekolah atau penyeleksi menanyakan hal-hal yang
mengarah kepada kemampuan financial. Bahkan, sempat terlontar pertanyaan
tentang jumlah mobil yang dimiliki orang tuanya. Konon, sekolah tidak
mau kecolongan sehingga si murid tidak kuat membayar biaya sekolah!
Menyikapi kondisi itu, saya
melihat bahwa pemerintah memiliki tiga jenis kelemahan ketika berhadapan
dengan sekolah swasta. Saya mengendus bahwa pemerintah belum berusaha
untuk memberikan sanksi tegas kepada sekolah pelanggar. Baiklah, saya
akan menjelaskan tiga jenis kelemahan itu agar menjadi semakin gamblang.
Pertama, selama ini pemerintah telah
memberikan hak yang sama kepada sekolah negeri dan swasta. Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) diberikan kepada semua sekolah, baik swasta
maupun negeri. Besarannya pun sama dan tidak dikenakan potongan. Jumlah
uang berdasarkan jumlah murid dalam satu sekolah. Jika pemerintah sudah
memberikan hak yang sama, seharusnya sekolah swasta itu juga mendapat
sanksi yang sama jika melakukan pelanggaran pungutan. Konon pemerintah
hanya akan memberikan sanksi penundaan pencaian BOS. Alamak…!!!
Kedua, sekolah swasta favorit
sering mendapatkan prioritas untuk melakukan seleksi demi mendapatkan
calon siswa baru. Kebijakan itu jelas merugikan sekolah negeri karena
sekolah negeri hanya mendapatkan sisanya. Itu pun berdampak buruk kepada
raihan prestasi pada sekolah negeri. Seharusnya pemerintah melakukan
pembinaan dan atau penyeragaman penyeleksian calon siswa baru. Namun,
hingga saat ini, saya belum pernah mendapatkan dan atau mengetahui
kebijakan dimaksud. Pemerintah terkesan mendiamkan kondisi itu sehingga
menjadi berlarut-larut hingga sekarang.
Ketiga, terjadi kesenjangan sosial
yang luar biasa antara sekolah negeri dengan sekolah swasta. Jika
sekolah swasta itu termasuk favorit, prestasinya menjulang tinggi. Itu
berdampak kepada sekolah negeri yang semakin ketinggalan mutunya. Jika
prestasi sekolah swasta menurun, pemerintah pun belum melakukan
pembinaan agar mutunya meningkat. Berkaca kepada dua hal itu, pemerintah
belum memberikan pembinaan kepada sekolah negeri agar meniru sekolah
swasta favorit atau membina sekolah swasta agar dapat meningkatkan mutu
pendidikan. Agaknya pemerintah masih bersikap setengah hati untuk
melakukan pembinaan, khususnya kepada para guru. Tak lain adalah model
rekrutmen pimpinan sekolah negeri dan swasta yang sarat dengan
kepentingan. Selagi lembaga pendidikan yang bernama sekolah sudah
dikotori oleh beragam ambisi dan bau politik, selama itu pula dunia
pendidikan takkan maju.
Saya bergidik usai
berdiskusi dengan temanku. Begitu banyak orang-orang pintar di
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendibud). Namun, saya belum
melihat prestasi nyata dari upaya pembinaan kepada sekolah-sekolah
pelanggar ketentuan. Justru kondisi itu mengesankan bahwa pemerintah
belum bersikap profesional terhadap posisinya sebagai pembina. Jika
pemerintah belum terlihat bersungguh-sungguh untuk menyelamatkan dunia
pendidikan, lalu kepada siapa lagi kita akan berharap terjadinya
penataan? Segelintir pembinaan dan penyelamatan itu masih terbatas pada
alokasi APBN yang mengalokasikan 20% anggarannya untuk pendidikan.
Memangnya duit bisa membeli kecerdasan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar