Jumat, 31 Agustus 2012

SEKOLAH


1327457575786819788
Mereka harus dididik agar menjadi generasi yang cerdas dan santun. Beberapa waktu lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) pernah melangsir peringatan kepada sekolah-sekolah yang dianggap nakal. Mendikbud menegaskan bahwa sekolah dilarang melakukan pungutan, perploncoan, dan beragam jenis kegiatan yang mengarah kepada tindakan yang tidak mendidik.

Tentunya kita perlu mengapresiasi ancaman itu. Begitu banyak kasus pelanggaran yang melibatkan sekolah: pungutan, tawuran, plagiasi, penyalahgunaan BOS, dan juga rekrutmen guru dan tenaga pendidikan.
Namun, akhir-akhir ini, saya justru terkejut dengan beragam kabar yang dilangsir oleh media. Begitu banyak sekolah melakukan pelanggaran. Banyak sekolah melakukan tindakan-tindakan yang terkategori melanggar ketentuan. Namun, Kemendikbud belum terlihat melakukan tindakan nyata sebagaimana ancaman yang pernah dhlontarkannya. Saya kurang memahami alasannya. Mungkinkah Kemendikbud belum memiliki indikator pelanggaran dan jenis sanksi terhadap sekolah yang melanggar?
Sekolah adalah lembaga pendidikan formal yang dikelola oleh negara dan masyarakat. Oleh karena itu, Negara menyediakan sekolah negeri sejak jenjang TK/ PAUD, SD, SMP, SMA/ SMK, hingga perguruan tinggi. Demikian halnya masyarakat, sebut saja pihak swasta. Mereka mendirikan sekolah dari beragam jenjang. Terjadinya sinergisitas untuk mencapai tujuan yang sama harus didukung oleh semua pihak. Namun, sepertinya Kemendikbud berubah menjadi macan ompong kala berhadapan dengan sekolah swasta. Apa pasal?
Kemarin, saya sempat berkomunikasi dengan seorang rekan dari Surabaya. Kami berdiskusi tentang banyak hal, khususnya tentang dunia pendidikan. Satu hal yang menyebabkan saya terperangah adalah kabar tentang biaya pendidikan sekolah swasta. Ternyata, sungguh sekolah swasta dimaksud melakukan beragam pungutan yang jumlahnya mencapai puluhan juta rupiah. Wouw, teramat fantastis!
Saya pun terpancing untuk mengetahui lebih banyak tentang hal itu sehingga saya sempat bertanya tentang mekanisme penarikan biaya dari orang tua murid. Dan saya benar-benar dibuat kaget bukan alang kepalang. Menurut temanku tersebut, sekolah mengadakan wawancara dengan calon murid. Pada wawancara itu, pihak sekolah atau penyeleksi menanyakan hal-hal yang mengarah kepada kemampuan financial. Bahkan, sempat terlontar pertanyaan tentang jumlah mobil yang dimiliki orang tuanya. Konon, sekolah tidak mau kecolongan sehingga si murid tidak kuat membayar biaya sekolah!
Menyikapi kondisi itu, saya melihat bahwa pemerintah memiliki tiga jenis kelemahan ketika berhadapan dengan sekolah swasta. Saya mengendus bahwa pemerintah belum berusaha untuk memberikan sanksi tegas kepada sekolah pelanggar. Baiklah, saya akan menjelaskan tiga jenis kelemahan itu agar menjadi semakin gamblang.
Pertama, selama ini pemerintah telah memberikan hak yang sama kepada sekolah negeri dan swasta. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) diberikan kepada semua sekolah, baik swasta maupun negeri. Besarannya pun sama dan tidak dikenakan potongan. Jumlah uang berdasarkan jumlah murid dalam satu sekolah. Jika pemerintah sudah memberikan hak yang sama, seharusnya sekolah swasta itu juga mendapat sanksi yang sama jika melakukan pelanggaran pungutan. Konon pemerintah hanya akan memberikan sanksi penundaan pencaian BOS. Alamak…!!!
Kedua, sekolah swasta favorit sering mendapatkan prioritas untuk melakukan seleksi demi mendapatkan calon siswa baru. Kebijakan itu jelas merugikan sekolah negeri karena sekolah negeri hanya mendapatkan sisanya. Itu pun berdampak buruk kepada raihan prestasi pada sekolah negeri. Seharusnya pemerintah melakukan pembinaan dan atau penyeragaman penyeleksian calon siswa baru. Namun, hingga saat ini, saya belum pernah mendapatkan dan atau mengetahui kebijakan dimaksud. Pemerintah terkesan mendiamkan kondisi itu sehingga menjadi berlarut-larut hingga sekarang.
Ketiga, terjadi kesenjangan sosial yang luar biasa antara sekolah negeri dengan sekolah swasta. Jika sekolah swasta itu termasuk favorit, prestasinya menjulang tinggi. Itu berdampak kepada sekolah negeri yang semakin ketinggalan mutunya. Jika prestasi sekolah swasta menurun, pemerintah pun belum melakukan pembinaan agar mutunya meningkat. Berkaca kepada dua hal itu, pemerintah belum memberikan pembinaan kepada sekolah negeri agar meniru sekolah swasta favorit atau membina sekolah swasta agar dapat meningkatkan mutu pendidikan. Agaknya pemerintah masih bersikap setengah hati untuk melakukan pembinaan, khususnya kepada para guru. Tak lain adalah model rekrutmen pimpinan sekolah negeri dan swasta yang sarat dengan kepentingan. Selagi lembaga pendidikan yang bernama sekolah sudah dikotori oleh beragam ambisi dan bau politik, selama itu pula dunia pendidikan takkan maju.
Saya bergidik usai berdiskusi dengan temanku. Begitu banyak orang-orang pintar di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendibud). Namun, saya belum melihat prestasi nyata dari upaya pembinaan kepada sekolah-sekolah pelanggar ketentuan. Justru kondisi itu mengesankan bahwa pemerintah belum bersikap profesional terhadap posisinya sebagai pembina. Jika pemerintah belum terlihat bersungguh-sungguh untuk menyelamatkan dunia pendidikan, lalu kepada siapa lagi kita akan berharap terjadinya penataan? Segelintir pembinaan dan penyelamatan itu masih terbatas pada alokasi APBN yang mengalokasikan 20% anggarannya untuk pendidikan. Memangnya duit bisa membeli kecerdasan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar